← Back to portfolio
Published on

Seniman dan Budayawan Umar Kayam

Umar Kayam lahir pada tanggal 30 April 1932, sebagai anak sulung dari sepuluh bersaudara. Umar muda tumbuh besar di lingkungan keraton Solo, dan menyandang status priyayi, alias bangsawan. Beliau menyelesaikan pendidikan awalnya di HIS Siswo Mangkunegaran, melanjutkan ke SMP 2 Solo, dan terakhir mengenyam pendidikan SMA di SMA-A (Sastra dan Bahasa). Selepas lulus SMA, Umar Kayam melanjutkan pendidikannya di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Gadjah Mada. Tak puas sampai di situ, Umar kemudian meraih gelar Master of Art dari New York University dan gelar Doktor dari Cornell University.

Meski menyandang status priyayi, Umar tak lantas mengeksklusifkan diri, lingkungan, serta ranah pertemanannya. Selama berkuliah di UGM, Umar Kayam dikenal sangat aktif dalam berbagai bidang, mulai dari menjadi anggota redaksional majalah mahasiswa Gadjah Mada, bermain dan menyutradarai pentas drama serta teater, hingga menjadi anggota senat mahasiswa dalam bidang kesenian. Bahkan, ia merupakan salah satu pelopor kehidupan kelompok teater kampus UGM. Tak heran jika begitu meraih gelar kesarjanaannya, beliau langsung dengan hangat disambut untuk kembali ke kampus sebagai lektor atau pengajar (dosen). Setelahnya, pria yang akrab dengan panggilan Uka ini juga mengemban beragam profesi. Beliau pernah menjadi Direktur Penerbitan Universitas, Dirjen Radio, Televisi, dan Film (1966), menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969 - 1972), hingga sebagai rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta. Di kesempatan lain Umar Kayam juga pernah menjabat sebagai Direktur Pusat Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin di tahun 1975. Jabatan yang kemudian paling identik dengan dirinya adalah sebagai Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan UGM.

Dalam skala nasional, Umar Kayam memiliki jasa dan peran tersendiri, terutama di bidang kesenian; sinema, teater, sastra, dan literatur. Beliau aktif di dunia sinema Indonesia baik sebagai sutradara, penulis skenario, bahkan aktor (dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI tahun 1984). Di antara skenarionya yang berhasil diangkat ke layar lebar adalah Jalur Penang dan Bulu Bulu Cendrawasih pada tahun 1978. Buku-buku sastranya yang pernah terbit, antara lain adalah Mangan Ora Mangan Kumpul; Sugih Tanpa Bandha; Madhep Ngalor Sugih; dan Satrio Piningit ing Kampung Piningit. Karya sastranya di tahun 1961, yaitu Seribu Kunang-kunang di Manhattan bahkan sempat mendapat penghargaan dari majalah Horizon di tahun 1968. Ketika menjabat sebagai Dirjen Radio, Televisi, dan Film, Umar Kayam disebut mampu membuat kompetisi perfilman di Indonesia menjadi lebih kompetitif. Di kancah internasional, Umar Kayam dianugerahi Southeast Asia (S.E.A) Write Awards pada tahun 1987.

Dalam dunia seni Indonesia, beliau merupakan salah satu tokoh yang tidak takut untuk mempertemakan kesenian tradisional dengan kesenian modern. Bahkan, perannya sampai ke arah menghubungkan antara studi estetik dalam kesenian atau suatu karya seni, dengan studi dalam aspek sosio-kulturalnya yang mencakup jangkauan pemahaman lebih luas lagi. Selain itu, beliau juga memandang penting peran dialog dan diskusi dalam menyikapi berbagai persoalan. Hal ini disampaikannya terutama perihal dialog antara ilmu pengetahuan dengan kesenian yang saat itu dirasa tidak nyambung oleh banyak pihak.

Repertoire Fakultas Ilmu Budaya UGM yang terbit pada tahun 2006, menyebutkan bahwa mengenang Umar Kayam itu layaknya mengenang sosok yang hidup pada dua dunia di saat yang bersamaan. Di satu sisi, beliau merupakan seorang priyayi, sekaligus seorang yang tradisional dalam banyak hal. Beliau bahkan selalu menggunakan mesin tik dalam menuliskan karya-karyanya, bahkan di masa komputer sudah populer di mana-mana. Namun di sisi lain, beliau juga merupakan seorang seniman serta akademisi yang kerap bergelut dengan dunia politik dan birokrasi, serta kemajuan teknologi Kekontrasan inilah yang kemudian ia hidupkan pada suatu kolom mingguan di harian Kedaulatan Rakyat mulai tahun 1978. Umar Kayam menggunakan kolom ini guna membahas fenomena perubahan zaman, serta lika-liku hubungan antar-kelas sosial kala itu.